Kamis

Pajak Asuransi, Haruskah?


Asuransi seringkali menjadi pembicaraan yang seru, pro dan kontra. Terakhir yang hangat adalah mengenai kenaikan premi asuransi kendaraan bermotor. Banyak pihak yang terkait dengan industri asuransi, yaitu perusahaan asuransi, agen asuransi, broker asuransi, reasuransi, dan pemegang polis asuransi.

Asuransi adalah pengalihan suatu resiko kepada pihak lain ( perusahaan asuransi ), mereka yang menjamin mengganti/menanggung resiko yang dihadapi oleh pemegang polis. Asuransi dapat dikelompokkan dalam 3 bagian, yaitu asuransi jiwa, asuransi kerugian dan asuransi social ( jamsostek ). Asuransi jiwa dapat dikelompokkan ke 3 kelompok yaitu asuransi jiwa permanent, asuransi jiwa jangka waktu, dwi guna.
Pajak asuransi yang berkenaan dengan jiwa/perseorangan dan dilihat dari sudut pandang pemegang polis :
1. Pembayaran premi, yang dilakukan oleh WPOP ( Wajib Pajak Orang Pribadi )
a.Dibayar sendiri, untuk kepentingan WPOP itu sendiri
b.Dibayar oleh pemberi kerja untuk kepentingan WPOP
c.Dibayar oleh WPOP untuk kepentingan WPOP lain / karyawannya.
2. Penerimaan manfaat asuransi, yang dilakukan oleh peruashaan asuransi kepada WPOP pemegang polis / ahli waris.

Bagi WPOP yang penghasilannya dari usaha pribadi maupun karyawan, maka pembayaran premi asuransi tidak dapat dijadikan biaya bagi WPOP, pada saat menghitung penghasilan kena pajak.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak Yang bersangkutan.
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Berdasarkan Pasal 7 huruf c Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi diatur bahwa tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 antara lain adalah iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
Penerimaan uang WPOP dari perusahaan asuransi bukan merupakan objek pajak penghasilan. Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 e Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-333/PJ/2001 tanggal 3 Mei 2001 Pasal 2 ayat 3 Dengan adanya pengalihan tanggung jawab pembayaran pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa maka program pensiun berubah menjadi program asuransi sehingga pada saat peserta menerima hak atas manfaat pensiun tersebut, perusahaan asuransi jiwa tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21.