Rabu

Deman Futsal dan RTH

Sepak bola merupakan olahraga universal yang banyak penggemarnya. Hampir semua orang berjenis kelamin pria bisa bermain bola. Bahkan sekarang wanita pun ada yang menyenanginya. Tapi, karena olahraga ini perlu lapangan yang cukup luas, penggemarnya merasa dikebiri.

Bukan karena ada peraturan pemerintah yang melarang setiap warganya untuk bermain sepak bola, tapi karena minimnya lapangan olah raga tersebut. Terutama di Jakarta, dari 36 lapangan sepak bola yang pernah ada, 20 di antaranya hilang diterjang perkembangan Jakarta. Sebagian malah berubah menjadi pusat bisnis dan perbelanjaan. (www.gatra.com)

Bahkan, warga Jakarta pun kehilangan Stadion Menteng yang mejadi markas dari Persija. Lapangan olahraga bersejarah yang dibangun sejak 1921 ini pun sekarang sudah raib. Akibatnya, semakin sedikit saja lapangan sepak bola di ibukota ini.

Sekarang ini mungkin hanya lapangan-lapangan sepak bola di pinggiran Jakarta saja yang masih ada. Itu pun mungkin hanya tinggal menunggu waktu untuk diubah menjadi perumahan atau lahan bisnis. Apalagi kondisi lahan kosong di Jakarta sudah semakin langka.

Melihat kondisi tersebut, entah siapa yang memulai, 3 atau 4 tahun belakangan, muncul yang namanya futsal. Di komunitas Kembangan dan Kebon Jeruk sendiri, jumlah lapangan futsal sudah meningkat lebih dari 2 kali lipat sejak tahun 2007.

Meski ada beberapa peraturan yang berbeda, tapi olahraga ini sama saja dengan sepak bola pada umumnya. Menggunakan bola bundar, memakai gawang, dibagi dalam dua tim, dan sebagainya.

Perbedaan mencolok ada pada ukuran lapangan yang lebih kecil dari sepak bola biasa. Tempat bermainnya pun menggunakan rumput sintesis. Dan yang paling signifikan adalah dimainkan di dalam ruangan. Meski ada yang dibuat di lapangan terbuka, tapi yang populer adalah di lapangan tertutup.

Kenapa lebih populer? Karena dengan begitu, setiap orang bisa bermain bola setiap saat. Tidak terhalang malam hari yang gelap. Kebanyak lapangan futsal indoor-pun dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti tempat ganti, toilet, kafe, bahkan food court.

Tidak berapa lama sejak futsal dikenalkan pada masyarakat Jakarta, masyarakat pun berbondong-bondong untuk menjajalnya. Lapangan futsal didirikan di mana-mana. Bukan hanya anak-anak, euporia futsal pun turut menyeret beberapa kalangan selebriti dan orang-orang kantoran untuk memainkannya.

Futsal sendiri diciptakan di Montevideo, Uruguay, pada tahun 1930 oleh Juan Carlos Ceriani. Keunikan Futsal mendapat perhatian di seluruh Amerika Selatan, terutama di Brasil. Ketrampilan yang dikembangkan dalam permainan ini dapat dilihat dalam gaya terkenal dunia yang diperlihatkan pemain-pemain Brasil di lapangan berukuran biasa. Pele, bintang terkenal Brasil, contohnya, mengembangkan bakatnya di Futsal.

Sementara Brasil terus menjadi pusat Futsal dunia, permainan ini sekarang dimainkan di bawah perlindungan FIFA di seluruh dunia. Dari Eropa hingga Amerika Tengah dan Amerika Utara serta Afrika, Asia, dan Oseania.

Pertandingan internasional pertama diadakan pada tahun 1965. Paraguay menjuarai Piala Amerika Selatan pertama. Enam perebutan Piala Amerika Selatan berikutnya diselenggarakan hingga tahun 1979 di mana semua gelar juaranya disapu Brasil. Brasil meneruskan dominasinya dengan meraih Piala Pan Amerika pertama tahun 1980 dan memenangkannya lagi pada perebutan berikutnya tahun pada 1984.

Kejuaraan Dunia Futsal pertama diadakan atas bantuan FIFUSA (sebelum anggota-anggotanya bergabung dengan FIFA pada tahun 1989) di Sao Paulo, Brasil, tahun 1982. Berakhir dengan Brasil di posisi pertama. Brasil mengulangi kemenangannya di Kejuaraan Dunia kedua tahun 1985 di Spanyol, tetapi menderita kekalahan dari Paraguay dalam Kejuaraan Dunia ketiga tahun 1988 di Australia. Pertandingan Futsal internasional pertama diadakan di AS pada Desember 1985.

Perlu ditambahkan bahwa banyak pemain-pemain sepakbola ternama dunia seperti Pele dan Ronaldo memulai permainan sepakbola mereka di olahraga Futsal.

Futsal dan RTH
Selain kolam renang, mungkin sarana olahraga yang paling banyak dikunjungi masyarakat adalah lapangan futsal. Masyarakat saat ini sedang demam futsal.

Animo penggemar futsal pun membuahkan semakin banyaknya lapangan-lapangan futsal dibangun - baik indoor maupun outdoor. Setiap yang ingin bermain futsal diwajibkan untuk membayar per jamnya dengan kisaran dari Rp 100 – 250 ribu.

Memang, lapangan-lapangan futsal ini memberikan alternatif sarana berolahraga buat warga Jakarta. Tapi, dengan angka tersebut, tidak semua orang dan kalangan bisa bermain di sana. Lapangan olahraga ini dikomersilkan. Inilah sisi lain dari ketersediaan sarana olahraga di Jakarta. Minim gratisan.

Melihat maraknya bangunan lapangan futsal, sayangnya sebagian besar dibangun di dalam ruang. Padahal, bila disangkupautkan pada ketersediaan RTH (Ruang terbuka Hijau) di Jakarta, seharusnya lapangan sepak bola menjadi penyumbang RTH. Tapi, karena lapangan futsal banyak dibangun di ruang tertutup, hal itu menjadi lain soal.

Jakarta sebenarnya kekurangan RTH yang berguna buat kegiatan olah raga dan kesehatan warganya. Pemerintah sendiri, menurut jejak pendapat yang dilakukan harian Kompas pada tahun 2002, tidak pernah serius mengolah dan membangun fasilitas olahraga buat warganya. Sekitar 65,1 persen fasilitas fisik lapangan olahraga tidak memadai dan tidak layak pakai.

Masih dikutip dari harian yang sama, arsitek lanskap, Nirwono Joga juga mengatakan, lapangan olahraga merupakan komponen utama RTH kota atau paru-paru kota yang membuat kota menjadi sehat. Ketersediaan RTH berupa lapangan olahraga atau taman kota di sekitar lingkungan permukiman merupakan sarana olahraga yang efektif bagi anak-anak hingga orang dewasa, pas sekali dengan moto memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.

Jadi, jika seseorang rajin berolahraga teratur, dijamin tubuhnya sehat. Itu analogi warga sehat yang tinggal di kota yang paru-paru kotanya juga sehat.
Berdasarkan KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992) dan Johannesburg (2002) telah ditetapkan luas RTH ideal kota sehat minimal 30 persen dari total luas kota.

Namun, bagi Kota Jakarta, itu tinggal mimpi belaka, karena yang terjadi justru penurunan target RTH, mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 seluas 37,2 persen, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005 seluas 25,85 persen, dan kini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010 seluas 13,94 persen (9.545 hektar), dengan kondisi di lapangan hanya 9,04 persen (6.190 ha) dari total luas Kota Jakarta 66.152 ha.

Sarana Olahraga dan Bisnis
Futsal menjadi lahan bisnis? Memang begitu adanya. Sama halnya dengan sarana olahraga lain yang disewakan kepada masyarakat. Sebut saja seperti kolam renang, lapangan bulutangkis, bahkan golf.

Tidak berimbangnya kebutuhan dan ketersediaan sarana olahraga membuat bisnis lapangan futsal menjadi menggiurkan. Meski modal pembuatannya memakan dana ratusan juta rupiah, namun karena animo masyarakat yang tinggi, modal pun bisa kembali sekitar 1 – 2 tahun.

Masyarakat yang merasa punya uang sendiri, tidak keberatan bila harus membayar demi bermain futsal. Karena mereka pun memang memiliki kebutuhan untuk bermain bola. Di sinilah nilai ekonomisnya , pebisnis jeli menangkap antara kebutuhan masyarakat dan ketersediaan sarana olahraga.

Belum lagi kalau olahraga futsal masuk dalam ranah budaya populer dan memengaruhi gaya hidup masyarakat perkotaan. Seperti halnya makanan fast food, meski banyak literatur yang mengatakan makanan tersebut tidak sehat, tetap saja gerainya dipadati masyarakat.

Para pebisnis yang menjadikan lapangan futsal sebagai lahan mencari uang bukanlah terdakwa. Ini karena memang pemerintah sendiri tidak bisa menyediakan sarana olahraga buat masyarakatnya. Kalaupun ada, ya apa adanya. Tempat seadanya dan fasilitas sejadinya. Alih-alih masyarakat mau giat berolahraga, melihatnya saja mungkin sudah malas.