Oleh: Ir. Goenardjoadi Goenawan
Tanya:
Saya ibu rumah tangga dengan 1 putri dan tidak bekerja. Saya bingung dengan kehidupan yang membuat saya bagai “Buah Simalakama”.
Permasalahannya adalah suami saya yang selama 4 th usia perkawinan lebih mementingkan keluarganya. Saya bisa maklum karena dia masih punya orang tua.Tuntutan suami dan keluarganya saya rasakan sangat tinggi dalam hal rasa hormat pada yang tua dari pihak laki-laki.
Padahal tanpa menuntut pun, saya tahu harus menghormati yang tua dan harus saling menghargai. Selama ini saya bersabar Pak, kalau menjelang hari libur suami pasti mengajak pergi ke rumah orang tuanya. Saya maklum karena rumah orang tua saya lebih jauh lagi apalagi saya masih punya putri yang yang balita.
Tapi kalau saya mengatakan atau mengisyaratkan saya tidak ingin pergi, suami akan marah. Padahal saya tersiksa sekali Pak, kalau di tempat orang tuanya. Saya tidak dianggap sebagai menantu apalagi sebagai anak.
Yang membuat saya sedih dan kesal, ketika mama saya numpang sementara di rumah untuk mengawasi renovasi rumah adik saya yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Pak Goenar, baru kali ini saya menjumpai orang seperti suami saya, yang basa-basi pun tidak pada mama dan adik saya, menanyakan progres renovasi rumah tersebut. Jadi mereka cuma diam-diaman.
Bahkan waktu weekend, suami rela kelaparan dan membiarkan saya juga lapar sewaktu adik saya datang ke rumah. Tujuannya tidak perlu beli makanan untuk adik saya. Setelah adik saya pulang, suami baru beli makanan. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya Pak Goenar. Ada lagi Pak, suami tidak mau makan masakan mama atau makanan pemberian mama saya. Bahkan kalau ke rumah mama saya, dia memilih makan di luar.
Saya tidak tahu di kehidupan dulu saya mungkin berhutang apa atau punya karma apa (kalau dalam agama Budha) sehingga saya bertemu dengan suami saya dan keluarganya .
Saya tidak tahu sampai kapan harus bertahan dalam kehidupan perkawinan ini. Apa yang harus saya lakukan? Apa perlu saya beritahu ketidaknyamanan saya kalau ke rumah orang tua dia, dan juga ketidaknyamanan saya dengan sikap dia kalau mama menginap di rumah kami?
Pak Goenar, saya sangat sedih, saya berpikir apa hanya anak laki-laki yang boleh berbakti pada orang tuanya? Apa dengan membiayai seluruh proses pernikahan dan membeli rumah atas nama suami, suami bisa bertindak tidak menghargai dan menghormati saya, orang tua dan keluarga saya? Tolong masukannya Pak Goenar. Terima kasih.
D
Meruya
Jawab
Bu D, Anda merasakan neraka dalam perkawinan? Anda merasa harus menunduk-nunduk di hadapan mertua sedangkan hak Anda, hak orang tua diabaikan oleh suami?
Saya hanya bisa sedih melihat semua ini, sesungguhnya bu, penderitaan ibu itu hanyalah ilusi. Itu hanyalah perasaan saja, sesungguhnya tidak ada maksud buruk apa pun dari orang-orang lain di sekeliling ibu, apalagi dari suami, belahan jiwa Anda.
Anda telah memilih suami, pasangan hidup, artinya Anda telah memercayai dia bahwa dialah yang akan menopang hidup Anda dan sebaliknya. Untuk itu bu, baliklah pandangan Anda, baliklah posisi Anda. Bayangkan kalau mertua Anda adalah ibu Anda sendiri. Bagaimana seharusnya menghadapi mertua? Hadapilah seolah-olah beliau ibu Anda sendiri, bu.
Mertua Anda adalah ibu kandung suami, belahan jiwa Anda, artinya Ibu Anda sendiri. Mengapa harus mengeluh kalau rumah berantakan oleh saudara-saudara Anda sendiri? Mengapa Anda harus merasa menjadi orang luar? Kalau mereka makan, temanilah mereka makan, sekali-sekali Anda gunakan pendengaran, dan tutup mulut. Mengapa harus dibedakan mana mama saya dan mana mama suami? Toh, semua adalah orang tua kandung.
Kalau suami Anda agak gerah dengan adik Anda, dengan mama Anda, jangan sekali-sekali dibeda-bedakan, tukar posisinya, anggaplah suami Anda itu adik Anda, tentu kadang adik Anda sekali-sekali cuek, kurang dekat dengan orang tua bukan, jadi itu perlu pendekatan.
Jangan melihat orang lain dari posisi Anda, Anda akan menderita hal-hal yang tidak perlu. Hidup ini bukan untuk Anda. Hidup ini adalah untuk orang lain.
Mereka adalah tujuan hidup ini. Mereka wajib Anda pelihara, anggaplah hidup Anda seperti sebuah akuarium, yang isinya ikan mas merah suami, dan ikan mas kuning mertua, dan ikan mas putih mama Anda, jangan biarkan ikan mas Anda ini saling cakar, saling gigit, berikan mereka semua kasih sayang Anda, karena merekalah milik Anda, hidup Anda, akuarium Anda.
Suatu saat ikan-ikan mas Anda berisi ikan-ikan kecil anak cucu anda sendiri. Kasih itu berarti berkorban. Serahkan hidup Anda untuk suami, untuk keluarga, dan temukan keajaiban hidup Anda!
Anda ingin tahu di mana kebahagiaan itu berada? Kebahagiaan itu berada di sekeliling Anda, di luar Anda. Jangan memikirkan diri sendiri. Semoga ini membantu.
Sabtu
Perkawinan Bagai Buah Simalakama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comment Form under post in blogger/blogspot