Senin

Fransisca Romana, S.H


Pembela Tanah Meruya Selatan

Awal Mei 2007 lalu, warga Meruya Selatan dan sekitarnya geger dengan pemberitaan bahwa tanah dan rumahnya akan digusur. Mereka tidak menyangka dan seperti baru bangun dari mimpi. Keputusan Mahkamah Agung melalui putusan No 2863 K/Pdt/1999 tanggal 26 Juni 2001 tentang eksekusi tanah menjadi penggangu tidur lelap mereka.

Mustahil keputusan itu terlaksana. Warga Meruya dan segenap unsurnya bertekad mempertahankan haknya sampai kapan pun. Bahkan sampai tetes darah penghabisan.

Sikap apatis warga terhadap keputusan MA tersebut pun langsung ditunjukkan dengan menyiapkan tombak dan golok untuk berperang. Di samping itu, warga juga telah menyebar sejumlah spanduk yang berisi perlawanan dan penolakan terhadap aksi penggusuran.

Pemasangan spanduk tersebut merupakan tahap awal dari aksi warga Meruya Selatan. Isi spanduk rata-rata mengecam putusan tersebut dan antara lain bertuliskan, "Mahkamah Agung Sebagai Lembaga Tinggi Negara Harus Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Rakyat Bukan Untuk Menghukum Rakyat yang Tidak Bersalah", "Kami Warga Meruya Selatan Menolak keputusan MA Tentang Eksekusi Tanah Milik Kami".

Bukan hanya warga Meruya Selatan yang menggugat penggusuran tersebut, mantan Gubernur Jakarta, Bang Yos, pun siap pasang badan membela warganya. Meskipun waktu itu masa jabatannya akan berakhir sekitar 5 bulan lagi, Sutiyoso, masih menyempatkan diri mengusir keresahan warga Meruya.

Bang Yos bertemu ratusan warga dan menyatakan, “Saya adalah pimpinan kota ini. Saya datang karena ada sesuatu yang khusus di tempat ini dan saat ini ada masyarakat yang saya pimpin mengalami keresahan. Mulai hari ini jangan resah lagi! Anak-anak pun harus tetap bersekolah. Apabila ada eksekusi nanti, saya siap pasang badan!”

Sekarang, setelah berselang lebih dari setengah tahun, warga Meruya Selatan bisa bernafas lega. Pasalnya, perlawanan mereka tidak sia-sia. Sebagian besar tanah yang menjadi sengketa dengan PT Portanigra tersebut sudah bisa didapatkan kembali melalui perlawanan di meja hijau.

Keputusan tersebut tidak terlepas dari peran Fransisca Romana S.H yang membela warga Meruya Selatan dari sisi hukum.

Sejak awal Mei 2007 lalu, Fransisca yang bertempat tinggal di Kav DKI ini sudah menangani kasus sengketa tanah dan masih tetap berjuang membela hak warga Meruya Selatan.

Menyinggung kasus yang sedang ditanganinya, wanita bernama lengkap Fransisca Romana Nani Alfiani ini sangat bersyukur atas perdamaiaan kasus sengketa tanah Meruya. Perdamaiaan (Dading) yang dilakukan oleh 1200 warga Meruya Selatan adalah pilihan terbaik menyangkut aspek hukumnya langsung berkekuatan hukum tetap tidak bisa dibanding, kasasi maupun peninjauan kembali.

Dari aspek sosial, warga yang sebelumnya lebih dari enam bulan menanggung beban stres sudah mulai tenang. Tidak tampak lagi keresahan warga. Dari aspek ekonomi, warga juga bisa menjaminkan dan jual beli kembali tanahnya.

Adapun warga yang melakukan mediasi dan telah terbebas dari eksekusi dan sengketa sudah mewakilkan atau lebih dari setengahnya. Tanah sengketa yang luasnya sekitar 45 hektar, sudah terbebas sekitar 296.745 meter pesegi.

Sedangkan tanah milik instansi sekitar 15 hektar. “Jadi, masih ada sisa yang harus diperjuangkan yakni sekitar 200 warga,” ucap Fransisca yang masih berstatus mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada.

Wanita jebolan S1 Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jogjakarta ini mengungkapkan bahwa perjuangan yang dilakukan selama ini tidak lepas dari dukungan warga. Menurutnya, warga benar-benar mendukung dan memberikan kepercayaan penuh kepadanya selaku kuasa hukum untuk menyelesaikan permasalahan sengketa tanah ini. Walaupun banyak yang menghadang, akhirnya Tuhan berpihak pada yang benar.

Wanita kelahiran Semarang 36 tahun silam ini mengaku sangat senang dengan berakhirnya kasus ini tanpa memakan korban. Menurutnya, sengketa tanah Meruya Selatan merupakan kasus terbesar yang pernah ditangani. Kasus ini menyangkut hak masyarakat banyak, dalam hal ini adalah warga Meruya Selatan dan PT Portanigra.

Kesimpulan yang didapat setelah dilakukan sidang beberapa kali, ternyata jelas, warga Meruya Selatan dan PT Portanigra adalah korban dari ulah-ulah instansi terkait yang belum becus mengatur dan menangani pertanahan di negara ini.

Lebih jauh putri pertama dari dua bersaudara ini menuturkan, sebagai pembeli yang beritikad baik, pembayar pajak yang taat, dan memiliki sertifikat dan bukti kepemilikan tanah lainnya, seharusnya mendapat perlindungan hukum dan tidak mengalami sebagaimana warga Meruya Selatan.

“Apalagi harus mengeluarkan biaya. Namun apa mau dikata, semua telah terjadi. Tapi kita semua wajib bersyukur karena persoalan dapat selesai dalam waktu yang singkat, tanpa ada korban jiwa,” lanjut wanita yang mengaku hobi membaca ini.

Ibu yang telah memiliki satu orang putra ini juga berharap agar perkara atau kasus sengketa tanah Meruya Selatan tidak terjadi di daerah lain. Ini juga bisa dijadikan PR (pekerjaan rumah), koreksi, dan pedoman bagi pihak eksekutif (pemerintah), yudikatif (lembaga peradilan) dan legislatif (wakil rakyat) untuk menyelesaikan permasalahan bidang pertanahan di tanah air.

Melalui kesempatan ini, Fransisca yang sangat gemar mendengar musik klasik, mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan dukungan yang telah diberikan warga Meruya Selatan. Fransisca juga meminta maaf bila ada tutur kata atau perbuatan, baik yang disengaja maupun tidak, yang menyinggung perasaan warga.