Oleh: Dewi Anggraeni Sudarwati Djoemena Simanjuntak
www.raenirepublikan21.com
Sering kebenaran bersifat subyektif. Merasa benar di antara orang-orang yang juga menganggap dirinya benar. Kebenaran relatif yang menurut Lenin adalah pencerminan dari objek yang relatif benar, yang terbatas dari manusia ini, kerap menjadi pemicu pertikaian dan konflik berbau SARA.
Sejarah telah mencatat beberapa tragedi dan kerusuhan yang memicu perpecahan antar umat beragama, suku, dan ras di Indonesia. Sebut saja kerusuhan di Situbondo, Maluku, Tasikmalaya, Sanggau Ledo, Tanah Abang, dan Poso. Di situ, semua pihak merasa paling benar dan melupakan akibat dari apa yang mereka lakukan.
Etnosentrisme seperti itu sering dipahami sebagai keyakinan yang buta. Hanya melihat melalui kaca mata subyektif yang semu. Tidak peduli dengan masyarakat lain yang sebenarnya memiliki hak yang sama di muka bumi ini.
Sayangnya, meski banyak digembor-gemborkan betapa pentingnya menjaga kerukunan antar manusia dari berbagai segi, masih ada juga masyarakat yang terpancing. Terprovokasi isu-isu yang memang sengaja dilempar orang-orang yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Atau malah hanya ingin mencari popularitas belaka.
Seperti belakangan terjadi, blog yang menjadi media ekspresi dan informasi dalam dunia internet, ternodai pemuatan kartun Nabi Muhammad. Akibatnya, banyak masyarakat Islam yang tersinggung karena bertolak belakang dengan aturan keyakinan mereka.
Untung saja, pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informasi bertindak cepat dengan menyurati blog wordpress agar menutup blog berbahasa Indonesia tersebut. Sehingga masalah ini dapat teratasi dan tidak melebar.
Sikapi dengan Cerdas
Tidak sedikit isu-isu berbau SARA yang ditanggapi dengan emosional. Melupakan rasionalitas dalam mencari titik temu. Tindakan anarkis dan vandalis sering diambil sebagai jalan utama saat isu-isu sensitif muncul. Ke mana rasio dan intelektualitas mereka?
Ketika masyarakat berada dalam kondisi seperti di atas, pergerakan massa sangat sulit untuk dibendung. Secara psikologis, di saat orang dalam kerumunan, maka mereka akan “menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa. Di sinilah rasio dan intelektualitas masyarakat biasanya “menghilang”. Terbawa kondisi jiwa massa yang sering bersifat agresif, destruktif, dan hilang akal.
Kembali pada kasus blog di atas, sempat pula beredar isu kalau akses ke wordpress akan diblokir. Kalau memang itu terjadi, penindaknya sama saja dengan demonstran yang berlaku vandalis. Tidak mengutamakan kecerdasan dalam menyelesaikan masalah.
Padahal solusinya sederhana, tangkap saja pelakunya sebagai cyber criminal. Apalagi sekarang negara kita sudah memiliki undang-undang yang mengatur masalah informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Jelas-jelas kalau pelakunya melanggar UU ITE Bab VII Pasal 28 tentang perbuatan yang bisa menimbulkan SARA.
Tapi, kebiasaan masyarakat di negara kita adalah membesar-besarkan masalah. Meruncingkannya menjadi sentimen yang bisa menyulut keresahan dan memicu konflik horisontal. Kenapa harus hal tersebut yang dipertajam?
Sekarang ini, teknologi internet sedang berkembang pesat. Begitu juga dengan masyarakat penggunanya. Miris rasanya kalau akses internet seperti Wordpress sampai ditutup. Tidak sebanding dengan manfaat yang bisa didapat.
Bila pemerintah sudah bertindak cepat seperti kasus di atas, sekarang tinggal masyarakatnya yang harus terus dipupuk rasa kebersamaannya. Saling menghormati sesama pemeluk agama dan menghargai keyakinan masing-masing.
Seperti pandangan seorang mistikus abad ke-13 dari Italia, Fransiskus, yang beranggapan bahwa setiap makhluk ciptaan mempunyai “fatherhood” yang sama, sebab semuanya memiliki keterciptaan yang sama. Fransiskus memandang dan menyapa setiap manusia dan ciptaan Tuhan sebagai “saudara” atau “saudari”.
Sehingga dia mampu menggalang persaudaraan universal dan rohani yang tidak dibatasi garis keturunan, darah, dan latar belakang kehidupan. Sama halnya dengan pandangan Mahatma Gandhi mengenai “ahimsa”(Kerikil-Kerikil Di Jalan Reformasi, William Chang).
Dengan berbuat baik dan mencintai sesama manusia, maka kita bisa hidup damai dengan mengembangkan toleransi dan menjunjung tinggi solidaritas antar masyarakat. Tidak berbeda dengan rumusan positif dalam aturan emas Kong Fu-tze (Analect 15:23) dan Surat Seneka 47:11 yang mengatakan, “cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri”
Jumat
Sikapi dengan Cerdas!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comment Form under post in blogger/blogspot