Rabu

Tiga Tekanan Dalam Hidup Pria

Seorang pria berumur 45 tahun datang menghampiri saya dengan wajah sedih menceritakan kisah hidupnya yang menurutnya sudah tidak ada harapan. Kami bertemu beberapa bulan lalu seusai pertemuan Pria Sejati. Terkejut mendengar perkataannya, “Pak, jika saya tidak diajak teman untuk mengikuti acara ini, saya dan keluarga pasti sudah hangus terbakar di rumah.”

Ia melanjutkan, “Saya berencana membakar istri, anak-anak, dan saya sendiri di dalam rumah karena tidak sanggup lagi menghadapi masalah ini. Saya tidak ingin istri dan anak-anak menanggung beban ini. Jadi lebih baik kami mati.”

Dalam 2 tahun terakhir, saya menemukan banyak pria hidup mengenaskan seperti pria di atas. Keadaan tersebut ditemukan mulai dari hubungan suami-istri, orang tua-anak hingga masalah keuangan dan tekanan pekerjaan.

Walau banyak orang berpendapat, bahwa pria dianggap pelaku penyebab kekacauan rumah tangga, namun saya juga menemukan pria adalah “korban”. Korban masa lalunya yang buruk, korban respon orang-orang di sekelilingnya yang melecehkan dan meremehkan hidupnya.

Saya merangkum paling tidak ada 3 tekanan utama yang menyebabkan pria menjadi letih, stres, akhirnya memilih kabur dari masalah dan terjebak dalam perselingkuhan, perjudian, pembunuhan, dan sebagainya.

1. Tekanan Pekerjaan
Pria harus bekerja. Betul! Tapi yang menjadi tekanan adalah upaya memertahankannya agar tetap bisa hidup. Pria jadi berhitung apakah penghasilannya cukup atau tidak. Belum lagi kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, hutang kartu kredit yang tak kunjung selesai.

Sebaliknya, bagi yang memiliki keuangan mapan, bisa saja terjebak pada pemikiran bagaimana menghasilkan lebih banyak lagi. Belum lagi datang tekanan dari orang-orang muda yang lebih kreatif, memiliki energi kerja lebih besar dibanding orang-orang yang sudah tua.

Loyalitas sepertinya tidak dianggap sesuatu yang berarti, digantikan kreativitas, fleksibilitas dan kecepatan. Akibatnya, banyak pria mengejar performa hingga harus rela pulang lebih malam, menggunakan waktu libur keluarga dengan bekerja. Akhirnya menjadi stres, kuatir, takut digeser posisinya, dan kehilangan pekerjaan.

2. Tekanan Informasi & Komunikasi
Teknologi seharusnya membantu manusia hidup lebih baik. Kenyataanya, banyak orang termasuk pria diperbudak teknologi. Orang yang tidak bijak, akhirnya mengorbankan prioritas lain termasuk waktu bersama keluarga.

Jangan-jangan komputer dan handphone sudah menjadi “pesaing” keluarga. Bangun tidur yang dicari handphone, komputer, membuka email dan seterusnya. Sepertinya kita tidak bisa menghindar dari teknologi karena pekerjaan menuntut bisa dihubungi setiap saat dengan respon cepat.

Pria telah dibombardir informasi melalui teknologi, seakan-akan ada keharusan yang memaksa hingga harus menggeser prioritas waktu keluarganya. Sekali pun mereka mengatakan berlibur bersama keluarga, namun handphone tetap berdering untuk urusan pekerjaan.

Di tengah berlibur, hadir stres. Sampai ada orang yang mengatakan tidak lagi “I hate Monday” (saya benci hari Senin), melainkan “I hate Sunday Evening” (saya benci hari Minggu sore), mengapa? Karena besoknya hari Senin, harus bekerja lagi.
Banyak istri dan anak mengeluhkan suami dan papanya tidak punya waktu untuk ngobrol tanpa gangguan. Padahal seharusnya, pria membutuhkan waktu merefleksikan dirinya, istirahat tanpa gangguan, dan kesegaran bagi jiwanya.

3. Tekanan Perjalanan
Berapa banyak waktu yang dihabiskan seorang pria di tengah perjalanan? Hidup di Jakarta, kita menghabiskan sedikitnya 3 jam di jalan. Dalam seminggu, kita menghabiskan sekitar 1 hari hanya untuk perjalanan. Belum lagi tugas keluar kota dari kantor yang menggunakan pesawat terbang.

Perjalanan ini berakibat pada kesehatan. Kecenderungan mengonsumsi makanan cepat saji sangat tinggi bahkan pola makan tidak teratur. Banyak pria tidak sehat hidupnya.
Sehingga membuat hubungan pria dan keluarganya terganggu. Menjadi tidak segar saat pulang ke rumah. Saya menemukan sebagian besar kehancuran hidup pria ada di area ini. Ia menjadi rentan dengan godaan, khususnya hal seksual saat perjalanan ke luar kota.
Apabila sebagai pria ditekan terus, satu waktu ia menjadi dingin, kehilangan semangat, dan dapat berakibat fatal seperti pria di awal tadi.

Seandainya Anda seorang istri setelah membaca ini melihat suami Anda mengalami hal serupa, jangan putus asa. Ada sebuah cara yang dapat mengatasi ketiga tekanan ini. Pria harus mau datang kepada Tuhan untuk di’audit’ atau mengijinkan Tuhan melakukan ‘general check-up’ secara rohani dan jiwa.

Pria harus mau merefleksikan dirinya secara berkala, terhindar sesaat saja dari kesibukan, bertemu “Sang Auditor” hidup terbaik.

Ketika Tuhan melakukan “audit”, pandanglah bahwa DIA sebagai penolong. Pria yang saya ceritakan tadi akhirnya dipulihkan Tuhan setelah menyerahkan dirinya di’audit’ oleh Tuhan. Sungguh luar biasa, bukan?

Tuhan tidak pernah rela melihat Anda dan keluarga hidup dalam kehancuran. Jika Anda berkata sepertinya sudah terlambat, itu adalah tanda cara Anda sudah tidak mampu membereskan. Tinggal cara Tuhan yang unik dan pasti selalu tepat pada waktu-NYA. Sekarang saatnya Anda membuka pikiran dan hati kepada DIA untuk sepenuhnya dibereskan dengan cara-NYA.

Bill Perkins menginspirasi banyak pria melalui prinsipnya yang berbunyi “Success at work, fail at home means FAIL COMPLETELY” (Sukses di pekerjaan, gagal dalam keluarga, adalah Gagal Seluruhnya). Mari menjadi pria yang sukses seutuhnya.

Oleh Arman Harijanto
Trainer Christian Men’s Network Indonesia
Tulisan ini diinspirasikan dari Patrick Morley – Seven Seasons of the Man in the Mirror