Sabtu

Jones Djatisasmito

Kemerdekaan Sesungguhnya Dengan Pembauran

Peraturan tentang penentuan calon legislatif (caleg) terpilih pada pemilihan umum (pemilu) bukan berdasarkan nomor urut, tetapi berdasarkan suara terbanyak, masih terus bergulir. Semua caleg akan memiliki hak yang sama di mata rakyat dan hukum. Nomor urut tidak berarti lagi. Rakyat pun bisa memberikan suara dan keinginannya dengan lebih tenang dan bebas.

Jones Djatisasmito adalah salah satu caleg DPR-RI Dapil Jakarta III dari PDP (partai Demokrasi Pembaruan). Saat ditemui di kantornya yang berlokasi di Jalan Jendral Sudirman, ayah dari dua orang putra ini menuturkan, untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan, dirinya butuh dukungan dan kebersamaan. Jika terpilih nanti sebagai anggota legislatif, dirinya akan benar-benar merealisasikan semua hal yang bertujuan untuk kepentingan rakyat.

Menurutnya, Pemilu 2009 ini, pemerintah masih kurang promosi. Dalam hal ini, pemerintah kurang memberikan pendidikan politik, khususnya tentang Pemilu 2009 ini. Hal inilah yang membuat masyarakat terkadang tidak peduli lagi dengan Pemilu 2009, terlebih pemilihan legislatif nanti.

Seperti yang kita ketahui, banyak warga Indonesia yang belum mengenyam pendidikan. Inilah yang membuat masyarakat bingung dan sulit menentukan pilihan yang mereka percaya menjadi wakilnya di gedung DPR nanti. ”Mencoblos gambarnya saja banyak yang bingung, apalagi hanya mencontreng nama. Jelas akan membuat mereka semakin bingung,” tukasnya.

Untuk itu, para caleg harus turut memberikan pendidikan soal Pemilu pada masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh pendiri Himpunan Eksekutif Pengusaha Internasional Golf ini dengan turun langsung ke wilayah-wilayah pemilihannya dengan mensosialisasikan Pemilu 2009. Sekaligus mengetahui apa yang diinginkan masyarakat, khususnya masyarakat bawah.

Menurut Jones yang sekarang masih menjabat sebagai Dirut PT Ficomindo Buana Registra ini, selama 63 tahun negara kita merdeka, kenapa negara kita masih miskin? Kenapa banyak masyarakat yang mengeluhkan tentang tingginya harga bahan pokok? Terlebih kaum ibu yang selalu resah dengan hal itu. Parahnya lagi, banyak warga negara, khususnya anak-anak yang belum bisa mengeyam pendidikan.

Persoalan yang kemudian hampir selalu mengemuka di saat momentum itu tiba adalah ketika banyak orang dari bangsa ini mencoba melakukan kontemplasi atau perenungan atas apa itu merdeka. Secara real-nya, pertanyaan ini senantiasa muncul apakah kita benar-benar merdeka? Benarkah kemerdekaan itu menjadi milik bangsa ini sejak masa proklamasi kemerdekaan itu dikumandangkan?

Lebih jauh pria kelahiran 40 tahun silam ini menuturkan, menelaah sebuah kemerdekaan, tentu saja kita sedang berusaha memaknai atau tepatnya mencari makna atas apa yang dinamakan merdeka dan kemerdekaan. Banyak orang memahami kemerdekaan sebagai suatu keadaan bebas dari tekanan dan perintah orang lain. Bagi sebagian orang lagi, kemerdekaan lebih dilihat dari sisi kebebasan berbuat untuk menghidupi diri sendiri, tanpa harus diatur oleh siapapun.

Dari pengertian tersebut adalah keliru jika kita menanyakan kepada rakyat, terutama rakyat yang sengsara, apakah mereka sudah merasa merdeka atau belum? Kebanyakan rakyat akan menjawab: belum. Terutama karena himpitan persoalan hidupnya yang mengekang kebebasannya dari ikatan kemelaratan dan tekanan-tekanan hidup yang parah.
Dikatakan keliru, karena sesungguhnya, kemerdekaan itu lebih bersangkut-paut dengan persoalan pemerintahan yang notabene berada pada rana kenegaraan. Indonesia sudah merdeka berarti negara ini tidak lagi diperintah oleh bangsa atau negara lain.

Jadi, kemerdekaan itu tidak secara otomatis berarti bahwa rakyat akan merasa terbebas dari sebuah kungkungan pemerintahan yang tidak diinginkannya. Bagi rakyat, hakekatnya kemerdekaan itu tidak bermakna sama sekali.

Guna menciptakan kemerdekaan yang sesungguhnya, pemerintah harus benar-benar membantu warganya untuk bangkit dari keterpurukan. Menurutnya, pembauran antar etnis yang merupakan perpaduan yang harmonis dan sinergis antar puncak-puncak keunggulan tersebut akan melahirkan kekuatan besar yang dapat meningkat secara signifikan ketersediaan lapangan pekerjaan, meningkatkan jumlah dan mutu pendidikan, pendapatan, dan kelestarian sumber daya alam.

Suami dari Rani Bunawan ini menambahkan, pembauran antar etnis menyebabkan masyarakat tidak lapar, tidak bodoh dan tidak miskin serta punya masa depan. Ditambahkannya, hingga sekarang pembauran antar etnis masih lambat. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya oleh semua pihak karena tantangan ke depan adalah bagaimana cara pendidikan tinggi dapat mempercepat pembauran antar etnis.

Untuk mempercepat pembauran itu, menurutnya, perlu penerapan SDM dengan cara merekrut para dosen, pegawai dan mahasiswa dari berbagai etnis yang berbeda. Sedangkan yang kedua adalah dengan perubahan pola fikir yang dapat dicapai melalui proses pembelajaran.”Kita sebagai generasi muda harus duduk bersama-sama membangun negara ini, tanpa membeda-bedakan suku, agama dan lainnya,” pungkasnya.

Jones Djatisasmito pun berjanji tidak akan meninggalkan warga miskin di Jakarta, khususnya di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Kepulauaan Seribu. Dirinya mempunyai prinsip ”Memanusiakan manusia”. Untuk itu, dirinya berniat membangun ketiga wilayah tersebut agar bertambah maju dalam hal pendidikan dan meminimalisir tempat tinggal kumuh, banjir dan kemacetan. Ini bertujuan bagi kesejahteraan warga.

“Saya akan memperhatikan orang miskin karena saya pernah hidup susah. Saya datang ke Jakarta pada tahun 1987 dengan keadaan yang sangat memperihatinkan. Karena itu, saya mohon doa restu akan membawa ketiga wilayah ini lebih maju dari sekarang,” tutup Jones Djatisasmito.