Jumat

Plagiator Media Komunitas*

Oleh: Ardi**

Plagiarisme dianggap sebagai hal yang biasa. Lumrah dilakukan apalagi di era kebebasan informasi seperti sekarang. Padahal, tindak plagiat itu sama saja dengan merampok dan sungguh memalukan.

Ternyata, mereka yang berkecimpung dalam dunia tulis-menulis seperti wartawan, masih ada yang melakukan hal tersebut. Padahal, mereka itu sudah dilengkapi dengan kode etik profesi yang harus dipatuhi. Bila mereka melakukan plagiat, sama saja menghina profesinya sendiri.

Sudah jelas disebutkan dalam Kode Etik Jurnalistik Bab III Pasal 12 bahwa wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya. Kemudian dikuatkan pula dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang merupakan “pasal payung” untuk semua wartawan Indonesia.

Dalam butir ketiga KEWI disebutkan bahwa wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat. Tentunya, bila ada yang melanggar kode etik profesi tersebut, akan ada sanksi yang dijatuhkan.

Seiring tumbangnya pemerintahan Orde Baru, keran kebebasan pers pun bergulir dengan derasnya. Tidak diperlukan lagi berbagai ijin seperti Surat Ijin Terbit (SIT) atau Surat Ijin Cetak (SIC) buat mereka yang ingin menerbitkan media.

Euforia ini pun berlangsung dalam skala komunitas di mana banyak bermunculan media-media komunitas yang menampilkan informasi-informasi satu wilayah tertentu. Keberadaan media komunitas, baik dalam format majalah atau tabloid ini pun bersambut dengan kebutuhan masyarakat, pemerintah daerah, dan kepentingan pengusaha.

Media komunitas pun tumbuh sebagai alternatif baca buat masyarakat. Eksistensinya cukup berarti, bahkan sering dijadikan referensi belanja, mencari informasi seputar tempat tinggal, dan sebagai sarana promosi untuk pengusaha lokal.

Namun, dalam perkembangannya, tidak semua media komunitas memiliki komitmen profesi yang menjaga etika dan moral. Tindak plagiat tadi misalnya. Entah karena sebab apa, ada saja yang menjiplak tulisan dan foto dari media lain tanpa mencantumkan sumber dan seijin pemiliknya.

Tidak seperti media massa yang cakupannya setingkat propinsi atau negara, media komunitas memiliki karakter cakupan yang dibatasi dengan wilayah tertentu. Sehingga bila wartawannya tidak ulet mencari, cukup sulit menemukan tulisan/artikel berbagai acara atau kegiatan berskala komunitas.

Bila kondisinya seperti itu, wartawannya ada saja yang mengambil jalan pintas menjiplak tulisan. Tapi pasti, harus diambil dari media komunitas serupa yang berada di wilayah yang sama.

Internet sering dijadikan ladang yang luas untuk menjiplak tulisan orang lain. Media komunitas yang memiliki website atau blog yang aktif seperti majalah AdInfo, rentan menjadi korban plagiarisme. Apalagi buat media yang selalu memperbarui konten berita dan artikelnya secara kontinyu.

Hal ini membuat wartawan dan medianya sendiri menjadi “malas”. Tidak kreatif, cenderung menjadi pengekor, dan menjadi “budak-budak dateline” tanpa memperhitungkan hak intelektual orang lain. Padahal, sebagai seorang wartawan, jati dirinya ada pada tulisan. Buat apa jadi jurnalis kalau tulisannya hasil plagiat.

Ada aturan sederhana yang sebenarnya tidak sulit untuk dilakukan yaitu, menyebutkan sumbernya. Namun, sering kali ada yang berpikiran kalau begitu, akan mengurangi kredibilitas sebuah media massa.

Siapa yang Salah?
Kebebasan Pers memang membawa angin segar bagi insan-insan Pers. Tapi, kebebasan yang mengharamkan pembredelan dan penyensoran ini membawa masalah lain, kurangnya profesionalitas dan tanggung jawab dari seluruh bagian yang terkait dalam sebuah media massa, terutama di jajaran direksi dan redaksi.

Dalam kasus plagiat di media massa, orang yang pertama ditunjuk untuk mempertanggungjawabkan perbuatan menjiplak tulisan adalah pimpinan redaksinya. Setelah itu, bisa ditunjuk redaktur dan orang yang menulis atau wartawannya.

Tapi sayangnya, pimpinan media sendiri sering tidak mengakomodasi dengan baik tindak plagiat yang dilakukan wartawan atau redakturnya. Terkesan malah menutup-nutupi kesalahan dengan melempar-lempar tanggung jawab. Inilah bukti dari ketidakprofesionalan sebuah media sekaligus kekerdilan pemimpin yang tidak bertanggung jawab.

Meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah solusi sederhana yang sering ditempuh ketika terjadi kasus plagiat. Tapi, hanya orang-orang berjiwa besar yang mau melakukan itu. Karena pada dasarnya pengawasan tindakan ini hanya pada hati nurani masing-masing. Pun kebesaran hati untuk mengakui kesalahan.

* Terinspirasi dari plagiat beberapa artikel dan foto yang dilakukan Majalah Pluit dan Puri Magazine terhadap Majalah AdInfo Puri dan Pluit
** Redaktur Pelaksana Majalah AdInfo