Bagian 1
Ada banyak laki-laki yang sulit untuk terbuka dengan isteri dan anak-anaknya saat mereka menghadapi masalah, dan terlebih suka menanggung masalah itu sendirian.
Ketika saya sedang bercakap-cakap dengan rekan saya, ia sempat mengemu¬ka¬kan beban dan masalah yang sedang dihadapinya. Cukup berat. Saya lalu bertanya, “Apakah isteri kamu sudah mengetahui hal ini?” Ia men¬jawab, “Tidak! Saya tidak ingin dia kuatir. Biar saya saja yang menang¬gung beban dan masalah ini. Saya kan kepala keluarga.” Kata saya lagi, “Loh, dia itu kan isteri ka¬mu?! Ya, siapa tahu, ia bisa memberikan masukan, atau setidaknya berdoa buat kamu.” Tetapi, ia tetap ngotot dengan pendiriannya. Dan, jujur saja, saya tidak bisa mengerti jalan pemikiran rekan saya itu.
Manakah yang lebih baik, an¬ta¬ra membiarkan isteri dan anak-anak kita tenang-tenang saja, padahal sesungguhnya nasib mereka ada di ujung tan¬duk, atau memberitahu apa yang sedang terjadi dan mengajak mereka berdoa bersa¬ma, agar se¬mu¬a berjalan dengan baik.
Jika keti¬dak¬tahuan mereka ternyata berujung dengan hasil yang baik, hal itu mung¬kin tidak akan menjadi ma¬salah. Tapi, jika ternyata hal itu berakhir de¬ngan hasil yang buruk, bukan¬kah me¬re¬ka akan lebih kuatir dan bahkan mungkin juga shock, karena kita tidak memberitahu me¬reka lebih dulu. Pernahkah kita me¬mi¬kirkan kemungkin¬an ini? Ironisnya, realita justru me¬nun¬juk¬kan bahwa kebanyakan laki-laki cenderung me¬nyem¬bunyikan beban dan masalah mereka, terlebih lagi jika itu menyangkut soal pe¬ker¬ja¬an me¬re¬ka. Bahkan kita mungkin juga termasuk dalam barisan para suami atau ayah yang melakukan hal-hal seperti di atas
Kebanyakan dari kita selalu beralasan, bahwa kita tidak ingin membuat isteri dan anak-anak mereka kuatir dan takut, dan kita me¬mi¬lih menyembunyikan beban dan masalah, agar semuanya terlihat baik-baik saja. Ini pe¬mi¬¬kiran yang keliru. Mengapa? Sebab, jika mereka menge¬tahui beban dan masalah yang sedang kita hadapi, mereka justru dapat mempersiapkan diri dan mendukung kita di dalam doa, agar semuanya boleh tera¬tasi atau berjalan dengan baik.
Tak hanya itu, di sisi lain, mereka juga berhak tahu apa yang sedang dan akan terjadi –terlebih lagi jika hal itu ber¬po¬tensi mempengaruhi kehi¬dup¬an mereka, karena se¬ga¬la sesuatu yang sedang atau akan menimpa kita, pas¬ti akan berdam¬pak pula pada mereka. Karena mereka adalah isteri dan anak-anak kita. Keluarga kita. Karena itu, mereka berhak tahu apa yang sesungguhnya sedang atau akan ter¬jadi pada diri kita, dan ... kita tidak seharusnya menyem¬bunyikan hal tersebut.
Lebih dari itu, ketahuilah, bahwa isteri dan anak-anak kita adalah tim istimewa yang diberikan Tuhan pada kita, agar kita beroleh bantuan dan dukungan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan ini. Itu artinya, usaha menyembunyikan apa yang sedang dan akan terjadi, sama saja dengan kita telah melewatkan ban¬tuan dan dukungan yang sangat kita perlukan, saat kita sedang memikul beban yang berat dan menghadapi ber¬ba¬gai masalah yang berat.
Bahkan, jika mereka mengetahui kita menyembunyikan beban dan masalah dari mere¬ka dan ingin menanggung sendiri, hal itu juga berpotensi menimbulkan kekecewaan bagi isteri dan anak-anak kita. Hal itu sama saja dengan kita tidak mempercayai mereka dan tidak menganggap mereka sebagai bagian dari kehidupan kita. Ini menyedihkan hati mereka.
Nah, yang lebih buruk lagi, kebiasaan kita menyembunyikan beban dan masalah yang sedang kita hadapi, juga akan menghasilkan kesatuan yang semu di tengah-tengah kelu¬ar¬ga kita. Karena kesatuan tanpa keterbukaan –apapun alasannya, merupakan kesatuan keluarga yang se¬mu. Tidak akan kuat menghadapi badai kehidupan. Tapi, jika kita mau belajar terbuka dengan isteri dan anak-anak tentang berbagai be¬ban dan masa¬lah yang kita hadapi, lalu kita menghadapinya bersa¬ma-sama dengan mereka, maka hal itu jutsru akan membangun kekompakan dan memperkuat kesatuan di te¬ngah-tengah keluarga.
Itulah kesatuan yang sesungguhnya. Bahkan, tak hanya itu, isteri dan anak-anak kita juga terlatih menghadapi berbagai beban dan masalah yang mungkin akan muncul di dalam kehidupan mereka nantinya. Dan mereka pun akan bertumbuh menjadi pribadi-pribadi yang kokoh dan tangguh. Awalnya begitu se¬der¬hana, belajarlah terbuka pada isteri dan anak-anak kita dan ajaklah mereka bersama-sama memikirkan dan menghadapi apa yang sedang atau akan terjadi. Inilah yang mesti kita lakukan.
Saya percaya, bahwa saat Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, lalu mereka menikah dan me¬la¬hir¬¬kan anak-anak, Ia bermaksud agar kita dan keluarga kita boleh menjadi satu tim yang solid menghadapi dan menja¬lani kehidupan di dalam dunia ini. Kita boleh saling terbuka dan berbagi beban, agar kita boleh men¬du¬kung satu dengan yang lain. Suami dan isteri. Ayah, ibu dan anak.
Karena itu, bukan waktunya lagi untuk kita menjadi pahlawan kesiangan di tengah keluarga kita, yang berusaha menanggung semua beban dan masalah seorang diri. Kita tidak hanya berpotensi menimbulkan hal-hal buruk seperti tertulis di atas, ¬ta¬pi juga berpotensi melakukan banyak kesalahan dan menjadi lemah karena tidak ada yang mengingat dan me¬¬¬no¬pang kita, yang pada akhirnya malah menjadi beban dan menimbulkan masalah bagi mereka. Sebab itu, mari kita mau belajar bersikap terbuka dengan isteri dan anak-anak tentang segala beban dan ma¬sa¬lah yang sedang kita hadapi. Buanglah segala pemikiran dan prasangka yang ti¬dak pada tempatnya.
Minggu
Belajar Untuk Terbuka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comment Form under post in blogger/blogspot