Bisnis dan Hobi Beromzet Puluhan Juta
Heran juga bila melihat pohon Aglonema yang bisa laku terjual sampai ratusan ribu. Belum lagi Anthurium yang berani dibandrol sampai ratusan juta rupiah. Tidak masuk diakal memang, tapi itulah hobi, kadang tidak sebanding dengan nilai fisiknya.
Lima tahun belakangan, usaha tanaman terutama tanaman hias belum banyak dilirik orang. Tapi tahun-tahun belakang, jenis usaha ini mulai banyak ditekuni. Alasannya, apalagi kalau bukan keuntungan yang berlipat ganda.
Dengan modal yang kadang hanya ratusan ribu, selama kurun waktu 5 – 8 bulan saja, bisa mendapat keuntungan jutaaan.
“Wabah” tanaman hias memang seperti endemi penyakit di Indonesia. Cepat sekali penularannya. Padahal sebelumnya tidak pernah terpikirkan hal tersebut dapat terjadi. Bahkan, orang yang tidak disangka-sangka akan menggemari pohon hias, bisa sangat jatuh cinta dengan Kamboja Jepang atau Anthurium.
Di Ciledug, ada seorang anak muda yang tadinya sangat gemar dengan otomotif. Hampir setiap hari dia “mendandani” motornya. Setiap Sabtu malam, sebagai seorang penggemar motor, dia pun kerap kebut-kebutan.
Tapi, ketika Kamboja Jepang sedang ngetren, dia beralih hobi. Motor yang tadinya disenangi, kini hanya tinggal alat transportasi biasa. Kini, ia lebih sayang sama pohon-pohon hiasnya.
Hampir setiap hari dia merawat tanaman-tanaman hiasnya. Mencari bibit-bibit yang bagus ke beberapa pelosok daerah dan mencoba menjadi breeder dengan menyilangkan beberapa jenis tanaman.
Media baca yang digemarinya pun turut berubah, dari tabloid dan majalah otomotif, kini ia lebih senang membaca referensi cara menanam dan merawat tanaman hias. Dia belajar sendiri dan mencobanya.
Bukan hanya dia sendiri, ternyata teman-temannya pun ikut tertular dengan hobi tanaman hias tersebut.
Terkesan mengherankan memang, dari seorang yang menggemari pacuan motor yang akrab dengan extreem sport, lalu berubah menjadi seorang yang melankolis penggemar tanaman hias. Tapi, memang itu yang terjadi bila memang sudah terpengaruh trend dan menjadikannya hobi.
Penjual Tanaman Komunitas
Usaha tanaman hias di komunitas kita boleh dibilang cukup ramai. Tidak sulit menemukan para penjual tanaman ini, mulai di pelosok kampung sampai pinggir jalan.
Sebut saja seperti di sepanjang Jalan Arjuna Selatan, di sana banyak berjajar para penjual tanaman dengan berbagai pelengkap seperti pot, pupuk, dan sebagainya. Bahkan, untuk perlengkapan taman pun bisa didapatkan di sini.
Kemudian bila kita berjalan di Jalan Panjang Kelapa Dua, tepat di pinggir jalan menuju Permata Hijau, kita bisa temukan para penjual tanaman tersebut.
Begitu juga dengan di Hutan Kota Srengseng. Selain sebagai tempat konservasi tanaman dan serapan air Jakarta, di tempat tersebut banyak pula bermukim penjual berbagai jenis tanaman.
Rata-rata yang mereka perdagangkan adalah tanaman hias (anthurium, aglaonema, valentine, euforbia, pride of Sumatra), tanaman buah, berbagai jenis tanaman tropis lainnya.
Bahkan ada pula yang menjual Pohon Jeruk Imlek yang hanya didatangkan sekali dalam setahun dan diimpor langsung dari Cina. Harga yang ditawarkan berkisar Rp100 ribu - 3 juta, tergantung dari ukuran, buah, dan keindahannya.
Menariknya lagi, ada pula yang menyewakan tanaman untuk berbagai keperluan seperti, untuk gedung-gedung perkantoran, rumah tinggal, atau keperluan sebuah acara.
“Jangka waktu penyewaannya selama satu bulan, dengan pergantian sebanyak empat kali. Misalnya, gedung menyewa sebanyak 50 pot, kami hargai 1 potnya Rp25.000 dan diganti sebanyak 4 kali dalam sebulan,” jelas Pengelola Karunia Tunggal, Gopur.
Sebagian besar tanaman dan bunga yang terdapat di Karunia Tunggal didatangkan dari daerah, terutama Bandung dan Suka Bumi. Menurut Gopur, banyak sekali tanaman hias yang bagus di sana dan kebanyakan orang tidak menyadarinya.
Karena ada beberapa jenis tanaman yang “diangkat” menjadi trend oleh masyarakat seperti adenium, maka para pengusaha pun berusaha untuk menjadi penjual khusus. Seperti yang dilakukan Sunny Flora yang berlokasi di Kavling DKI. Tempat penjualan tanaman ini mengaku spesialis untuk tanaman adenium dan kamboja.
Sunny Flora bisa menjual 1500 hingga 3000 pohon setiap bulannya. Menurut pemilinya, Sani, kendala dari bisnis tanaman hias ini hanya terletak pada alam. Seperti yang baru saja terjadi, ia harus mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah akibat banjir.
Untuk perawatan, Sani menambahkan, tanaman hias yang dijualnya relatif mudah perawatannya. “Salah satu yang menyebabkan tanaman rusak adalah justru dari pupuknya. Itu karena komposisi pupuk yang ada saat ini tidak pas, seperti kadar PH yang berlebihan,” tukas Sani.
Ia memberikan saran untuk tanaman hias sebaiknya menggunakan pupuk kandang, agar tanaman tidak rusak.
Selain itu, Sani juga sering membawa tanaman hiasnya untuk dipamerkan di berbagai tempat, seperti Depok, TMII, dan tentu saja Lapangan Banteng yang merupakan barometer penjual dan pecinta tanaman hias.
“Dalam setahun saya bisa 4 - 5 kali mengikuti pameran tanaman hias yang berlangsung sekitar satu minggu sampai satu bulan,” ungkap Sani.
Sebelumnya, Sani hanya sebagai pensuplai adenium kepada pedagang tanaman hias. Sani mendatangkan bibit dari Taiwan dan menyuplai sebanyak 10 ribu tanaman setiap bulannya.
Dari sekian banyak pengusaha tanaman, ternyata ada satu tempat yang tidak melulu melihat dari segi bisnis. Tempat penjualan ini tidak hanya memikirkan keuntungan semata, tapi juga berpihak pada keasrian lingkungan secara keseluruhan.
Menurut pemilik tempat penjualan tanaman yang diberi nama YBEE ini, Sugi, apapun jenisnya, tanaman selalu bermanfaat untuk kehidupan manusia. Paling tidak, tanaman berguna sebagai pemasok oksigen bagi manusia. Semakin berkurangnya tanaman, maka semakin sedikit pasokan oksigen, sehingga toksin dan polusi udara langsung diserap oleh tubuh tanpa filterisasi yang dilakukan tanaman.
“Untuk mengurangi dampak buruk dari hal tersebut, penghijauan dapat menggunakan semua jenis tanaman, salah satunya adalah dengan tanaman hias. Selain di jual untuk orang yang gemar mengoleksi tanaman hias, tanaman saya juga diberikan untuk warga yang menginginkan rumahnya memiliki tanaman hias,” ujar Sugi.
Selama digunakan untuk dirinya sendiri dan bukan untuk dijual kembali, tambahnya, orang-orang boleh mengambilnya. Tapi, tanaman yang boleh diambil tersebut bukan tanaman hias yang berharga mahal, atau titipan orang lain. Mereka tinggal mengganti pot nya saja, itu pun saya tidak minta.
Bagi bapak satu orang putri ini, menjalani bisnis tanaman hias hanya sekedar mengisi waktu luang. Dan juga demi terciptanya lingkungan asri dan hijau. Selain memberikan tanamannya dengan cuma-cuma pada warga, Sugi juga menginginkan setiap jalan dan gang yang ada ditumbuhi berbagai tanaman.
Untuk itu ia bersedia menjalankan penghijauan di jalan dan gang, jika mendapat dukungan dari pihak terkait, seperti RW maupun kelurahan.
Investor Asing
Selain investor lokal, tanaman hias ternyata banyak juga dilirik oleh investor asing. Pada tahun 2006 lalu saja, setidaknya sudah ada 10 investor asing yang menanamkan modalnya. Para investor asing tersebut mengincar pasar dunia yang pada tahun 2007 lalu saja mencapai nilai US$ 80 miliar. Permintaan tanaman hias dunia tersebut datang dari Eropa dan Asia.
Sedangkan nilai ekspor Indonesia secara rata-rata hanya US$ 12 juta per tahun. Sebanyak 75 persen dari ekspor Indonesia didominasi oleh tanaman tropis, sedangkan sisanya dari jenis anggrek.
Meski demikian, seperti yang dilansir dari laman Sinar Harapan, investor asing kerap mengeluhkan biaya angkut produk mereka ke mancanegara yang terlalu mahal. “Eksportir dikenai freight cost senilai 3,4 - 3,6 euro per kg. Padahal, dari Thailand hanya 2,4 euro per kg,” kata Direktur Tanaman Hias, Ditjen Hortikultura Departemen Pertanian Agus Wediyanto.
Dia lalu mencontohkan produsen tanaman hias asing yang bermitra lokal seperti PT Silektani. Perusahaan patungan antara investor Belanda dengan mitra lokal itu kini mampu menghasilkan bibit petunia asal Belanda berupa biji sebanyak 10 kilogram per bulan dari lahan 50 hektare (ha) di Wonosobo.
Selanjutnya, bibit tersebut dijual ke Belanda maupun beberapa negara lain dengan harga cukup tinggi. Dengan upah tenaga kerja yang terbilang rendah, marjin keuntungan yang didapat lebih tinggi dibanding di negara lain. Semisal Singapura, kata Agus, upah tenaga kerja menggerogoti marjin keuntungan sebesar 50 persen.
Breeder
Jika dilihat dari kegiatan dan tahapan produk yang dijualnya, seperti dikutip dari agromedia.net, usaha tanaman hias dapat dibagi menjadi beberapa segmen usaha. Salah satunya adalah usaha pembibitan (breeder).
Para pelaku pembibitan tanaman hias disebut dengan breeder atau pemulia tanaman. Beberapa breeder menghasilkan bibit jenis baru melalui penyilangan. Namun, untuk menjadi seorang breeder, dibutuhkan ilmu dan keahlian khusus. Selain itu, dibutuhkan pula ketekunan dan kesabaran, karena untuk menghasilkan suatu silangan baru yang sempurna dibutuhkan waktu 5-10 tahun.
Salah satu penyilangan tanaman hias yang paling dikenal di Indonesia adalah Gregorius Hambali. Breeder asal Bogor ini telah banyak menghasilkan ratusan aglaonema hibrida yang menjadi incaran para hobiis tanaman hias. Selain itu ada juga nama Ayub S. Parnata, yang mampu menghasilkan puluhan hibrida anggrek jenis baru.
Selain melalui penyilangan, beberapa pemain menghasilkan bibit melalui perbanyakan konvesional, yaitu perbanyakan secara generatif, vegetatif, dan kultur jaringan. Perbanyakan tanaman secara generatif dilakukan dengan menanam bijinya.
Sementara itu, perbanyakan vegetatif dilakukan dengan setek dan pembelahan anakan. Tanaman yang diperbanyak bisa merupakan jenis baru hasil karya para penyilang atau pemulia tanaman, bisa juga tanaman unggul hasil seleksi dari tanaman yang sudah ada.
Bibit-bibit tersebut selanjutnya dijual kepada para pemain lain untuk dibesarkan.
Khusus untuk tanaman jenis baru, breeder bisa menjualnya dengan cara “jual putus” hak ciptanya atau meminta royalti atas tanaman hasil penemuannya tersebut. Namun, selama ini kebanyakan breeder di Indonesia menjual putus tanaman hasil penemuannya. Hal itu karena tanaman hasil silangan umumnya tidak memiliki hak paten yang mengikat. Bahkan kadang-kadang suatu tanaman tidak diketahui siapa penyilangnya.
Kondisi ini berbeda dengan pasar tanaman hias luar negeri, seperti Thailand dan Taiwan. Di negara tersebut, tanaman hias hasil silangan bisa mendapatkan hak paten. Dengan demikian, setiap orang yang ingin memperbanyak tanaman tersebut harus membayar sejumlah royalti kepada pemegang lisensi atau pemilik hak paten atas tanaman tersebut. Sistem seperti itu tentunya lebih menguntungkan bagi para breeder. Karenanya, bisnis tanaman hias di tingkat breeder di luar negeri lebih menjanjikan.
Perkembangan Usaha di Jakarta
Seperti dijelaskan dalam laman Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, Jakarta memiliki kondisi topografi yang mendukung untuk usaha pengembangan tanaman hias. Krisis 1998 menyebabkan pasar tanaman hias mengalami kelesuan. Daya beli masyarakat melemah, sektor properti yang menjadi konsumen penting mengalami kebuntuan.
Namun, perlahan-lahan paska krisis 1998, pasar tanaman hias menggeliat kembali. Bahkan beberapa tahun belakangan ini beberapa komoditas mengalami peningkatan signifikan. Selain anggrek, ada adenium, euphorbia, aglaonema dan anthurium. Gejala ini bisa dilihat di pameran-pameran flora yang diselenggarakan di Jakarta. Hampir di setiap stan tanaman hias menjadikan salah satu dari 5 tanaman itu sebagai main display.
Selain mengebunkan sendiri, tanaman hias itu diperoleh dari luar Jakarta dan luar negeri seperti Thailand dan Taiwan. Sesampainya disini, tanaman diperbanyak, disilangkan sehingga muncul berbagai variasi menarik. Sentra budidaya tersebar di seluruh wilayah Jakarta.
Kawasan pasar bunga Rawabelong di Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat merupakan sentra penjualan terbesar. Di tempat ini setiap harinya berkumpul kurang lebih 300 pedagang tanaman hias. Menurut catatan Direktorat Budidaya Tanaman Hias, Departemen Pertanian RI, pada semester I hingga periode Juni 2005 tercatat omzet sekitar 5,41 miliar dari hasil transaksi. Selain Rawabelong sentra tanaman hias juga tercatat di Pos Pengumben, Permata Hijau dan Kebon Nanas. Mayoritas usaha dilakukan secara turun menurun.
Komoditi tanaman hias yang diperdagangkan di Pasar Bunga Rawabelong terbagi menjadi 4, yaitu Daun Pelengkap, Bunga Gunung, Bunga Rampai dan Anggrek. Konsumen terbanyak berasal dari kalangan floris (45 %), hotel (20 %), gedung pertemuan dan katering (20 %), perkantoran (10 %), dan sisanya pembeli perorangan (5 %). Pasar tanaman hias di Indonesia terbagi menjadi 4 : tanaman indoor seperti aglaonema, tanaman hias untuk taman seperti palem, tanaman untuk rangkaian bunga seperti bunga potong dan tanaman outdoor lainya seperti bonsai dan kaktus. Konsumen bunga potong umumnya industri pernikahan, sedangkan tanaman hias berputar di industri properti (perumahan, perhotelan) serta hobiis dan kolektor.
Dari segi selera pasar, tanaman hias outdoor berharga lebih murah sehingga volume perdagangan lebih besar. Tanaman indoor volumenya lebih kecil, karena harganya lebih tinggi. Namun, tanaman indoor punya beberapa kelebihan. Jenis ini lebih tahan dipelihara, variasi lebih beragam serta berumur panjang sehingga sesungguhnya konsumen lebih berhemat. Saat ini tren masyarakat mengarah kebentuk tanaman hias kecil dan mudah dipindahkan. Adenium, euphorbia, dan aglaonema memenuhi syarat-syarat ini. Selain itu ada pola kelaziman, bahwa memasuki bulan–bulan perayaan tahun baru, natalan, lebaran, atau 17 Agustusan bisnis tanaman hias kembali marak.
Tanaman hias memiliki kisaran harga yang beragam. Mulai dari euporbia seharga Rp15.000 hingga sepot aglaonema berharga ratusan juta. Segmen paling marak ada ditanaman kelas menengah, tanaman jenis ini memiliki harga antara Rp15.000 - 250.000. Penentuan harga ditentukan oleh tren yang berkembang. Semakin bersifat massal, harga akan semakin turun.(berbagai sumber)
Selasa
Liputan Usaha Tanaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comment Form under post in blogger/blogspot