Kadang kita pikir sungguh sulit mencari kepuasan pribadi. Seperti seorang bayi, kita merasa senang sebentar, namun 5 menit kemudian kita merasa kurang. Merasa resah, tidak puas lagi seperti anak kecil yang berhenti menangis sebentar, lalu diberi mainan, dan 5 menit kemudian menangis lagi.
Kita tak habis pikir, sudah berapa banyak jam tangan koleksi kita di laci lemari? Sudah berapa banyak handphone yang pernah kita beli? Namun seolah-olah kita merasa kecil, merasa kosong kalau belum memiliki handphone berteknologi terkini.
Dan kita berpikir, sampai kapan ”rat race” ini berakhir? Hingga kita menyadari, bahwa hidup ini bukan untuk kita. Kita hanya menjalankan tugas yang diberikan Tuhan dalam menciptakan kita, yaitu untuk menolong orang lain.
Teman saya yang telah 16 tahun menikah, dan mendampingi suaminya selama 26 tahun termasuk masa pacarannya, sekarang merasa hidupnya hancur, karena suaminya selingkuh.
Mengapa suaminya tidak menyadari betapa besar cintanya pada suaminya? Mengapa dia tidak menyadari kesalahannya? Apa maunya? Apa yang dicari dari wanita lain yang hanya kenal 2 bulan langsung lupa diri? Seolah-olah pengorbanan dirinya, pengabdian cintanya kepada sang suami, tidak ada harganya.
Hidupnya hancur dan ketika dia memaki-maki suaminya, malah semakin buntu, terjadi perang dalam rumah tangga, hingga anak-anak menjadi bingung dan merana.
Mengapa hidupku bisa begini? Apa dosa dan salahku? Aku tidak pernah mengkhianati suamiku, mengapa dia tega sekali berbuat begitu? Hanya memenuhi nafsu setan, dia rela meninggalkan masa depan rumah tangga dan anak-anaknya sendiri.
Dia tidak menemukan jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang membara di hatinya. Dia tidak sanggup melupakan dan memaafkan. Mungkin dia bisa memaafkan selingkuhan suaminya, namun bagaimana bisa melupakannya?
Seolah-olah detail peristiwa jahanam itu mengorek-korek luka batin di hatinya. Hingga dia tersadar bahwa hidup bukanlah untuk dirinya. Dia hanya bertugas menjalankan tujuan Tuhan menciptakan dirinya, yaitu untuk menjaga, menolong, memelihara orang-orang yang dicintainya.
Suaminya juga bukan miliknya, namun milik Tuhan, dan sudah tugasnya menjaga suaminya, termasuk dari jurang kehancuran.
Sehingga kita menjadi sadar bahwa hidup ini bukan untuk mencari makan, namun lebih tepat adalah mencari ”Makanan Jiwa”, yaitu kebaikan.
Bahwa sejak kita dilahirkan, kita tidak diberi hak apa pun, hanya sebatas ”celana kolor” (sekarang pampers). Namun, sesungguhnya Tuhan memberi rejeki yang tak terbatas untuk manusia, asalkan demi orang lain.
Dan kita melupakan jalan yang ditunjuk Tuhan untuk menjadi pedoman hidup kita. Bahwa hidup ini bukan untuk mencari makan, manusia tidak hanya makan dari roti. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita mengerti jalan Tuhan bahwa hidup adalah untuk mencari ”Makanan Jiwa”, yaitu kebaikan dengan menolong/memberi.
Kadang kita berpikir, sungguh suatu kerugian bila kita harus memberi, atau bagaimana mungkin dengan rajin menolong orang lain, maka kita bisa mendapat rejeki?
Sesungguhnya rejeki itu bersumber dari orang lain, dan bagaimana caranya kita membuat orang-orang lain memberikan uangnya pada kita?
Ada 2 hukum paling dasar pada manusia:
1. Setiap orang butuh uang, namun ingat, bahwa ini jalan buntu
2. Bahwa rejeki datang dengan cara menolong orang lain.
Percuma kita memikirkan kebutuhan kita, masalah kita maupun tujuan kita, karena itu jalan buntu. Coba kita pikirkan, ke mana kita bisa mencari uang banyak untuk membeli kolam renang di rumah kita?
Buntu bukan?
Namun, jalan rejeki terbuka kalau kita mulai memikirkan kepentingan orang-orang lain. Bahwa hidup ini bukan untuk kita, kita hanya menjalankan tugas kita dari Tuhan untuk menolong orang-orang lain.
Rejeki adalah uang. Dan uang selalu ada yang punya yaitu orang-orang lain. Nah, bagaimana caranya mengendalikan orang, sama dengan cara kita mengendalikan uang. Mengendalikan orang adalah sama dengan kepemimpinan, dan akar dari kepemimpinan adalah rasa percaya.
Akar kepercayaan adalah kepentingan orang lain. Bila orang lain tidak memiliki kepentingan terhadap Anda maka dia tidak akan percaya.
Oleh karena itu, yang paling penting dalam hidup adalah bagaimana caranya kita mengerti kepentingan orang lain. Dengan demikian pada saat kita menolong orang lain, maka ada benefit yang kita peroleh, yaitu orang tersebut akan percaya kepada kita. Dan kita tahu rasa percaya adalah dasar segala rejeki.
Kamis
Kebahagiaan Memberi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comment Form under post in blogger/blogspot